Belajar dari Hachiko


Kisah kesetiaan seekor anjing bernama Hachiko kepada tuannya yaitu Profesor Parker sudah sangat terkenal di Jepang sampai dijadikan film berjudul Hachiko : A Dog’s Story, dan diabadikan menjadi sebuah sebuah patung Anjing di depan stasiun Shibuya Jepang.
Singkat cerita bermula ketika Profesor Parker menemukan seekor anak anjing di stasiun tempat biasa profesor pulang dan pergi beraktivitas, karena kasihan lalu dibawanya anjing itu pulang dan diberi nama Hachiko. Hachiko pun dirawat dipelihara hingga tak pernah ada waktu terlewat tanpa kebersamaan dengan Hachiko.

Setiap hari Hachiko mengantar pergi dan pulang tuannya (Profesor Parker), hingga suatu hari tuan yang dinanti-nanti kedatangannya di Stasiun tidak juga datang. Kabarpun diketahui sang Tuan(Profesor Parker) meninggal dunia terkena serangan jantung ketika sedang bekerja, lalu Hachiko pun kini dirawat oleh anak dari professor namun karena suatu hal yang dirasa kurang dalam kesehariannya lebih tepatnya ketidak mengertian Hachiko atas kematian tuannya membuatnya terus berharap dan menantikan akan kepulangan tuannya. Hachiko pun pergi dari rumah anak profesor menuju stasiun tempat professor biasa pergi dan pulang kerja. Hari demi hari bulan demi bulan tahun demi tahun terus berjalan Hachiko tetap menunggu kehadiran sang prosfesor hingga banyak orang simpatik pada Hachiko, silih beganti orang memberi Hachiko makan ataupun hanya sekadar bercanda dengan Anjing itu. Kesetiaan Hachiko bertahan hingga tahun kesepuluh meninggalnya Profesor. Sampai akhirnya musim dingin tiba di tahun ke sepuluh, Hachiko meninggal di bundaran stasiun pada tengah malam yang sunyi dan dingin.

Kesetiaan Hachiko melebihi batasan kesetiaan anjing pada umumnya. Refleksi nya pada kisah nyata seekor anjing bernama Hachiko ini mengajarkan kepada kita, bahwa kesetiaan dilahirkan dari kasih tulus. Kesetiaan Hachiko dibentuk, yaitu ketika Profesor Parker memberikan kasih yang tulus padanya. Artinya, di dalam kasih yang tulus tidak ada nilai kepalsuan. Karena sesungguhnya, di dalam kepura-puraan hanya ada penghianatan. 

Jika sesekor anjing saja sanggup setia sampai mati pada tuannya, bukankah manusia diciptakan Tuhan jauh melebihi kesetiaan seekor anjing? 
Bukankah manusia diberikan akal budi atau kecerdasan oleh Tuhan supaya dapat membedakan bahwa dirinya tidak sama dengan binatang? 

Tetapi sayang, realita kehidupan memperlihatkan, bahwa terkadang manusia lebih senang memelihara sikap, tindakan dan kasih yang penuh dengan kepura-puraan. Itulah sebabnya, di dalam dirinya benih-benih kebencian, dendam, iri hati, dengki dan penghianatan pada sesamanya dan terlebih pada Tuhan tumbuh dengan subur. Sebagai akibatnya, kekerasan, ketidakadilan, dendam, kebenciaan dan pembunuhan atas sesamanya menjadi kecenderungan yang sangat sulit dihapuskan. Karena di dalam hatinya sudah tidak ada lagi tempat atau lahan untuk menumbuhkan benih-benih kehidupan seperti yang dikehendaki oleh Tuhan dari manusia. Tuhan telah menciptakan manusia sedemikian rupa supaya mereka dapat hidup saling mengasihi seorang akan yang lainnya. Itulah sebabnya Tuhan sangat peduli terhadap orang-orang yang dengan setia mengasihi sesamanya dengan sepenuh hati, dan bukan dengan setengah hati atau kepura-puraan. Karena sesungguhnya, kesetiaan kita terhadap sesama, kasih kita terhadap sesama seharusnya menjadi bukti nyata kasih dan kesetiaan kita kepada Tuhan. Maka, adalah tidak mungkin seseorang mengatakan bahwa dia sangat mengasihi Tuhan dengan sepenuh hati sementara ia tidak mengasihi sesamanya dengan sepenuh hati.

Komentar

Postingan Populer